Denpasar, Usianya masih terbilang muda saat terkena kanker nasofaring (hidung) stadium 2 di umur 31 tahun. Pria muda bernama Sugianto yang kini berusia 34 tahun itu merasakan benar bagaimana jatuh bangunnya melawan kanker yang bahkan hampir membuatnya putus asa.
Sugianto adalah sosok orang muda yang energik, gaul dan penuh semangat dalam mengisi hidupnya. Tiba-tiba di awal 2009, ia menemukan benjolan di leher kanan tapi karena tidak berasa sakit ia tak mempedulikannya.
"Saya waktu itu menganggap remeh benjolan itu dan bersikap cuek. Ini pelajaran penting buat kita, kalau ada benjolan itu jangan dianggap remeh karena walau kita merasa sehat tapi kita tidak tahu ada sesuatu yang berbahaya di tubuh," ujar Sugianto yang ditemui detikHealth di acara Seminar kanker oleh Prof dr Peng Xiao Chi dari Modern Cancer Hospital Guangzhou di Hotel Sanur Beach Bali seperti ditulis Rabu (7/3/2012).
Benar saja, Sugianto harus membayar mahal karena meremehkan benjolan yang awalnya cuma kecil itu. Karena ia tidak peduli, benjolan itu lama-lama membesar sampai akhirnya dilakukan pengecekan dan muncul diagnosis dari dokter bahwa itu adalah kanker nasofaring stadium 2.
Benjolan yang semula dianggapnya hal biasa karena tidak terasa sakit itu akhirnya mengubah jalan hidupnya.
Sugianto lalu melakukan pengobatan di sebuah rumah sakit di Jakarta. Namun pengobatan di rumah sakit tersebut tidak ia teruskan karena terlanjur kecewa dengan sikap dokternya yang dianggap tidak membantu dirinya karena menganggap kondisi pasien seperti itu adalah hal biasa.
Kecewa dengan pelayanan rumah sakit di Jakarta, Sugianto memutuskan melakukan pengobatan di sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di Melaka Malaysia pada tahun 2010. Melihat kondisi kankernya, dokter di Malaysia memutuskan untuk melakukan operasi kelenjar yang mengangkat beberapa otot di sekitar lehernya.
Usai operasi itu, sugianto menjalani kemoterapi konvensional, yang mana kemo tersebut mengenai seluruh tubuhnya tidak hanya menyasar pada kanker di seputar lehernya. Rupanya tubuhnya tak sanggup menerima efek kemoterapi tersebut.
Sugianto merasakan betul beratnya efek kemoterapi ke seluruh badan yang membuatnya tidak nyaman dan menderita. Tiap hari ia muntah-muntah hingga 20 kali sampai obat-obat yang diminumnya pun ikut keluar semua. Padahal, itu baru proses kemoterapi yang pertama kali dan masih ada beberapa kemoterapi yang harus dijalani.
Berat badannya turun hingga 25 kg dan jadi gampang sakit. Tak tahan dengan efek kemoterapi konvensional itu, Sugianto pun menyerah di kemoterapi pertama. "Saya bilang ke dokternya, saya nggak mau lagi melanjutkan kemo ini, saya tersiksa dan menderita dengan obat kemoterapi yang keras itu, karena saya tidak mau dokter pun akhirnya angkat tangan," ungkap Sugianto.
Akibat pengobatan yang tidak tuntas itu, muncul lagi kanker di hidungnya. Sugianto pun kembali memeriksakan diri di rumah sakit Malaysia itu. Lagi-lagi dokter menyarankan untuk melakukan kemoterapi dan sinar. Namun sekali lagi ia mengatakan ke dokter, bahwa dirinya tidak sanggup kalau harus menjalani kemoterapi dan sinar lagi seperti yang pertama.
Sugianto pun memutuskan untuk mencari tempat berobat lain karena berharap ada cara lain selain kemoterapi yang menyakitkan itu. Berangkatlah ia ke Singapura, tapi ternyata dokter di sana pun menyarankan hal yang sama melakukan 1 kali sinar dan 2 kali radiasi.
"Karena hidung dan tenggorokan sudah mati rasa, dokter di Singapura bilang harus dilakukan operasi, mukanya dibelek, diangkat kankernya dan sisanya disinar lagi, nggak ada pilihan," tutur Sugianto yang sudah memiliki 2 anak ini.
Karena takut mukanya dibelek-belek, Sugianto memutuskan untuk mencari pengobatan lain, hingga akhirnya ia mendapatkan info soal pengobatan kanker di Guangzhou China. Kebetulan saat itu ada seminar dari Modern Cancer Hospital Guangzhou di Jakarta. Saat itu, ia sempat bertemu dengan Prof dr Peng Xiao Chi dari Modern Cancer Hospital Guangzhou yang melihat kondisinya.
"Dr Peng bilang, kamu datang (ke Modern Cancer Hospital Guangzhou) kalau percaya, saat itu saya dilema antara berobat di Singapura atau Modern Cancer Hospital Guangzhou. Setelah berpikir panjang akhirnya saya putuskan ke Guangzhou pada November 2011," ujar Sugianto.
Di Modern Cancer Hospital Guangzhou, Sugianto langsung dilakukan pemeriksaan PET (positron emission tomography) Scan, PET Scan ini lebih unggul dari CT (computed tomography) Scan karena meningkatkan akurasi dokter dalam memeriksa jenis kanker termasuk yang masih kecil sekali pun.
Tim dokter Modern Cancer Hospital Guangzhou memfokuskan 3 pengobatan untuknya yaitu Pemusnahan kanker, Pembersihan sisa kanker dan Penguatan.
Menurut Prof dr Peng Xiao Chi, metode pemusnahan kanker yang dilakukan rumah sakit ini adalah dengan cara pengobatan zero yang terdiri dari kemoterapi lokal dan penyumbatan kanker. Caranya cukup rumit dengan memasukkan selang kecil ke pembuluh darah yang ada sel kankernya. Jadi hanya yang benar-benar ada kankernya yang diberikan obat kemoterapi herbal bukan seluruh badan sehingga tidak merusak sel-sel yang masih sehat.
Obat kemoterapi herbal ini dimasukkan ke pembuluh darah yang ada sel kankernya, setelah itu dilakukan penyumbatan pembuluh darah. Karena pembuluh darah disumbat maka sel kanker tersebut kekurangan nutrisi yang dipasok dari pembuluh darah. Akibatnya sel kanker mengecil dan mati karena obat kemonya terbungkus dalam kanker dan tidak pergi kemana-mana.
"Pengobatan di Modern Cancer Hospital Guangzhou sangat berbeda dari Malaysia, tidak terasa sakit. Pagi kemo besoknya bisa jalan-jalan. Waktu di Malaysia saya bangun saja nggak sanggup dan waktu belum baik sudah ditimpa obat lagi," kata Sugianto.
Dengan pengobatan zero sebanyak 4 kali, obat bisa langsung masuk ke kanker di hidung kanan. Meski belum 100 persen sembuh, namun kondisi Sugianto terbilang terus membaik. Kini ia sedang memasuki proses penguatan setelah melakukan pembersihan dengan memasukkan biji partikel dan melakukan imunoterapi.
Untuk pertanyaan lebih lanjut, anda dapat menghubungi kami via online, email atau telepon. Untuk info-info terkini, anda dapat mengunjungi Facebook dan Youtube kami.